1. Pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung

Pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung Desa Adat Sebatu berada dalam satu lokasi di bagian Utasa (hulu) Desa. Pura Puseh berada pada halaman Jeroan sedangkan Pura Desa / Bale Agung terletak pada halaman Jaba Tengah. Di samping Pura Desa / Bale Agung, pada halaman yang sama (Jaba Tengah) terdapat bangunan – bangunan suci Pelinggih Bhatara Pura Ratu Manik Toya dan Pura Sakenan, yang disungsung sepenuhnya oleh Krama Subak.
Pura ini menghadap ke arah Selatan dan di luar tembok penyengker dikelilingi oleh jalan sebagai tempat berpradaksina tatkala berlangsungnya upacara Piodalan. Di samping kiri dan kanan Pura terdapat Pura Panti Prajurit (Panti Kangin) di sebelah Timur, Pura Panti Kauh di Sebelah Barat, Panti Alit disebelah Tenggara dan Pura Jabakuta di belakangnya.
a.      Sedikit tentang sejarah Pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung
Untuk mengetahui sejarah pura ini sangat sulit, mengingat data yang didapat kurang memadai. Tetapi apabila ditinjau dari peninggalan – peninggalan arkeologi yang tersimpan pada beberapa Pelinggih didalamnya banyak dalam wujud batu – batu besar, arca – arca kuno, Lingga dan sebagainya, maka dapat ditafsirkan pendirian pura ini mengalami proses perkembangan secara evolusi sesuai dengan konsepsi keagamaan yang masuk dan berkembang di Bali.
Pada jaman pra Hindu / sebelum masuknya agama Hindu di Bali dimana orang – orang masih mempunyai kepercayaan animisme dan masih menyembah pohon – pohon besar, batu – batu besar yang dianggap mampunyai roh, kemungkinan pura ini telah menjadi tempat pemujaan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya batu – batu besar yang ditancapkan pada beberapa bangunan suci, dimana bentuk – bentuk serupa itu akan mengingatkan kita pada bentuk menhir yaitu peninggalan jaman megalitikum.
Kemudian ketika anasir – anasir Hindu masuk ke Bali, hal mana banyak menimbulkan perubahan – perubahan dalam konsepsi keagamaan, maka timbul pemujaan – pemujaan kepada Dewa Çiwa dan sekelompoknya seperti pemujaan kepada Ganeça (anak Çiwa, Durga Saktinya Çiwa dan juga pemujaan kepada Dewa Çiwa yang dilambangkan dalam bentuk Lingga. Di Bali pemujaan secara khusus kepada Dewa Çiwa dalam wujud Lingga dan Yoni diperkirakan berlangsung dari abad ke-8 sampai abad ke-14. Mengingat dalam pura ini ditemukan Lingga, maka besar pula kemungkinannya kepercayaan akan tempat suci yang telah dipergunakan sejak jaman pra Hindu berlanjut sampai pada periode abad ke-8 – 14.
Di tengah – tengah perjalanan abad tersebut, yaitu disekitar abad ke-10, mungkin gagasan baru dalam konsepsi keagamaan di Bali, yang berhasil dirumuskan oleh Mpu Kuturan, dimana dicetuskan pendirian Pura Kahyangan Tiga pada masing – masing desa di Bali untuk dijadikan dasar penyungsungan seluruh Desa Adat.
Kiranya atas dasar yang dicetuskan oleh Mpu Kuturan itu, kemungkinan oleh masyarakat Desa Adat Sebatu, Pura yang telah lama dipakai sebagai tempat pemujaan, dijadikan pusat pemujaan seluruh umat di wilayah Desa Adat yaitu sebagai pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung hingga sekarang.


b.      Bangunan – bangunan atau Pelinggih di Pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung
Seperti umumnya Pura besar di Bali, struktur halamannya dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
A.    Halaman Luar (Jaba Pura)
B.     Halaman Tengah (Jaba Tengah)
C.     Halaman Dalam (Jeroan)
A.    Halaman Luar (Jaba Pura) ; terdapat bangunan seperti :
1.      Wantilan ; sebagai tempat rapat anggota krama, sebagai tempat mementaskan pertunjukan yang bersifat hiburan.
2.      Bale Penginapan (bale kemit) ; pos jaga bagi krama.
3.      Dua buah tugu Apit Lawang di depan candi kurung.

B.     Halaman tengah (Jaba Tengah) ; terdapat bangunan :
1.      Bale Patok di belakang candi kurung.
2.      Bale Gong, tempat menaruh gong yang ditabuhkan saat upacara.
3.      Umah Kulkul
4.      Jineng / Lumbung padi hasil laba pura
5.      Jineng / Lumbung padi
6.      Jineng / Lumbung padi
7.      Bale Agung Kembar
8.      Paruman, tempat para Dewa Parum (rapat), dan sebagai tempat melinggihkan Pretima – Pretima (simbul Dewa – Dewa) yang dipuja pada saat upacara oleh umatnya.
9.      Perantenan, tempat memasak alat – alat keperluan upacara.
10.  Bale Agung Dangin
11.  Panggungan
12.  Pelinggih Ratu Sakenan
13.  Bale Alit
14.  Pelinggih Ratu Sakenan
15.  Pelinggih Ratu Bale Agung
16.  Pelinggih Ratu Kaseh
17.  Pelinggih Ratu Kaseh
18.  Pelinggih Ratu Manik Toya
19.  Pelinggih Ratu Nyarikan (sebelah barat di depan candi bentar).

C.     Halaman Dalam (Jeroan)
1.      Bale Murda / Paselang
2.      Telaga Waja
3.      Bale Alit Ratu Puseh (Bhetara Puseh)
4.      Meru tumpang 3, Pelinggih Bhatara Puseh.
5.      Bale Alit Bhatara Gunung Agung
6.      Meru tumpang 5, Pelinggih Bhatara Gunung Agung
7.      Bangunan Dasar, tempat pemujaan Hyang Ibu Pertiwi.
8.      Padmasana tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tunggal.
9.      Meru tumpang 3, pelinggih Bhatara Gunung Lebah.
10.  Bale Alit Bhatara Gunung Lebah
11.  Manjangan Seluang, Pelinggih Bhatara Maspahit / Maskait
12.  Bale Alit Bhatara Maspahit
13.  Tapas sebagai tempat pemujaan Bhatara Wisnu
14.  Pelinggih Bhatara Sri
15.  Taksu Gumi
16.  Paruman
17.  Pelinggih Ratu Barong dan Rangda
18.  Bale Cengapit dan Titi Gonggang, sebagai pemedal (pintu) Bhatara Puseh.
19.  Pelinggih Dauh Margi sebagai tempat pemujaan Bhatara Maha Merta.
20.  Gedong pesimpenan Bhatara Maha Merta
21.  Bale kemit, tempat mekemit (berjaga – jaga)

c.       Upacara Puja Wali atau Piodalan
Sebagian besar Pura / Kahyangan yang ada di wilayah Desa Adat Sebatu upacarangya berlangsung berdasarkan “Wali”, sehingga di dalam pelaksanaan piodalannya ditentukan sesuai dengan urutan dari upacara pujawali masing – masing pura. Adakalanya dalam pelaksanaan upacaranya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan “Walin Carik”, bahkan upacara walin carik inilah yang dipakai dasar pedoman untuk melakukan upacara di beberapa pura.
Upacara besar di Pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung Desa Sebatu berlangsung 2 kali dalam setahun, yaitu sekitar Purnamaing sasih ke-6 dan sasih ke-7 disebut Pujawali Ratu Puseh atau Desa sedangkan pada sekitar Purnamaning sasih ke-8 atau ke-9 dilangsungkan upacara yang disebut “Meluwaran”.
Pada Upacara Pujawali Pura Puseh atau Pura Desa ini, pelaksanaannya berlangsung bergiliran tiap tahun, yakni sekali di langsungkan di Jeroan dan sekali di Jaba Tengah. Demikian juga dalam hal upakaranya sekali “Sabha Lablab” (segala aturan yang dibuat tanpa menggunakan minyak goreng), dan selanjutnya “Sabha Goreng” (bahan aturan / sesajen mempergunakan minyak)
Selanjutnya dalam upacara yang kedua atau yang disebut “Meluwaran” hanya dilakukan pada halaman Jeroan. Upacara ini merupakanpertemuan Bhatara – Bhatari dari seluruh Pura di Desa Adat Sebatu dan Bhatara Jati (Pura Jati di Banjar Jati) untuk dipuja bersama – sama oleh umatnya di Pura Puseh Desa Sebatu.
Selain dari upacara – upacara tersebut masih banyak lagi upacara yang berlangsung di Pura ini terutama yang berkaitan erat dengan “Walin Carik” atau Pujawali Subak. Upacara Subak atau Upacara lain yang berkaitan dengan masalah sawah akan diterangkan pada uraian upacara di belakang.
Jalannya upacara pujawali dipimpin oleh Pemangku Pura dan dibantu oleh para Penyarikan dalam hal membagikan / memercikkan tirta kepada umat yang bersembahyang. Sebagaimana umumnya sebelum upacara persembahyangan dimulai, dipertunjukkan tarian pendet, baris tumbak, rejang dan sebagainya sebagai pelengkap upacara.

No comments :

Post a Comment