UNSUR KETUHANAN


Sebagaimana telah kita maklumi bahwasanya Tri Hita Karana adalah suatu sarana yang mutlak harus dimiliki oleh setiap Desa Adat untuk dapat mencapai tujuan yaitu terwujudnya kesejahteraan jagat lahir dan bathin. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan kesatuan gerak dan pandangan serta kepercayaan yang sama bagi setiap organisasi adat (sekeha) yang tercakup di dalam desa adat itu sendiri. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah kesatuan gerak dalam membangun Desa adat berlandaskan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa / Sang Hyang Widhi Wasa yang diwujudkan dengan pendirian bangunan – bangunan suci (Pura) dengan segala bentuk aktifitasnya, adalah merupakan unsur ketuhanan yang dimiliki oleh suatu Desa Adat.
Desa Adat Sebatu dalam mewujudkan unsur ketuhanan dapat dilihat dari banyaknya Pura / Kahyangan yang tersebar dalam wilayah desa baik besar sebagai Kahyangan umum maupun kecil sebagai Sanggah atau Pemerajan. Pura / Kahyangan di Desa Adat Sebatu secara garis besarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
A.    Pura Kahyangan Tiga
1.      Pura Puseh
2.      Pura Desa / Bale Agung
3.      Pura Dalem
B.     Pura yang bersifat umum
1.      Pura Gunung Kawi
2.      Pura Jabakuta
3.      Pura Kusti
4.      Pura Mrajapati

C.     Pura Penataran
1.      Pura Pnti Prajurit (Panti Kangin)
2.      Pura Panti Kauh
3.      Pura Panti Alit

D.    Pura yang bersifat Fungsionil
1.      Pura Melanting
2.      Pura Ulun Carik, banyaknya 2 pura yaitu Pura Ulun Carik Kaja dan Pura Ulun Carik Kelod.
3.      Pura Manik Toya dan Pura Sakenan
4.      Pura Taulan

E.     Pura Keluarga
1.      Pura Pemaksan Pasek Gelgel
2.      Pura Pemaksan Pasek Pulasari

F.      Pura atau tempat suci lain yang sangat erat kaitannya dengan pura di atas :
1.      Pura / Pesiraman Kembang Jenar
2.      Pura / Pesiraman Panti Prajurit (Panti Kangin)
3.      Pura / Pesiraman Panti Kauh.
1.      Pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung
Pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung Desa Adat Sebatu berada dalam satu lokasi di bagian Utasa (hulu) Desa. Pura Puseh berada pada halaman Jeroan sedangkan Pura Desa / Bale Agung terletak pada halaman Jaba Tengah. Di samping Pura Desa / Bale Agung, pada halaman yang sama (Jaba Tengah) terdapat bangunan – bangunan suci Pelinggih Bhatara Pura Ratu Manik Toya dan Pura Sakenan, yang disungsung sepenuhnya oleh Krama Subak.
Pura ini menghadap ke arah Selatan dan di luar tembok penyengker dikelilingi oleh jalan sebagai tempat berpradaksina tatkala berlangsungnya upacara Piodalan. Di samping kiri dan kanan Pura terdapat Pura Panti Prajurit (Panti Kangin) di sebelah Timur, Pura Panti Kauh di Sebelah Barat, Panti Alit disebelah Tenggara dan Pura Jabakuta di belakangnya.
a.      Sedikit tentang sejarah Pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung
Untuk mengetahui sejarah pura ini sangat sulit, mengingat data yang didapat kurang memadai. Tetapi apabila ditinjau dari peninggalan – peninggalan arkeologi yang tersimpan pada beberapa Pelinggih didalamnya banyak dalam wujud batu – batu besar, arca – arca kuno, Lingga dan sebagainya, maka dapat ditafsirkan pendirian pura ini mengalami proses perkembangan secara evolusi sesuai dengan konsepsi keagamaan yang masuk dan berkembang di Bali.
Pada jaman pra Hindu / sebelum masuknya agama Hindu di Bali dimana orang – orang masih mempunyai kepercayaan animisme dan masih menyembah pohon – pohon besar, batu – batu besar yang dianggap mampunyai roh, kemungkinan pura ini telah menjadi tempat pemujaan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya batu – batu besar yang ditancapkan pada beberapa bangunan suci, dimana bentuk – bentuk serupa itu akan mengingatkan kita pada bentuk menhir yaitu peninggalan jaman megalitikum.
Kemudian ketika anasir – anasir Hindu masuk ke Bali, hal mana banyak menimbulkan perubahan – perubahan dalam konsepsi keagamaan, maka timbul pemujaan – pemujaan kepada Dewa Çiwa dan sekelompoknya seperti pemujaan kepada Ganeça (anak Çiwa, Durga Saktinya Çiwa dan juga pemujaan kepada Dewa Çiwa yang dilambangkan dalam bentuk Lingga. Di Bali pemujaan secara khusus kepada Dewa Çiwa dalam wujud Lingga dan Yoni diperkirakan berlangsung dari abad ke-8 sampai abad ke-14. Mengingat dalam pura ini ditemukan Lingga, maka besar pula kemungkinannya kepercayaan akan tempat suci yang telah dipergunakan sejak jaman pra Hindu berlanjut sampai pada periode abad ke-8 – 14.
Di tengah – tengah perjalanan abad tersebut, yaitu disekitar abad ke-10, mungkin gagasan baru dalam konsepsi keagamaan di Bali, yang berhasil dirumuskan oleh Mpu Kuturan, dimana dicetuskan pendirian Pura Kahyangan Tiga pada masing – masing desa di Bali untuk dijadikan dasar penyungsungan seluruh Desa Adat.
Kiranya atas dasar yang dicetuskan oleh Mpu Kuturan itu, kemungkinan oleh masyarakat Desa Adat Sebatu, Pura yang telah lama dipakai sebagai tempat pemujaan, dijadikan pusat pemujaan seluruh umat di wilayah Desa Adat yaitu sebagai pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung hingga sekarang.


b.      Bangunan – bangunan atau Pelinggih di Pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung
Seperti umumnya Pura besar di Bali, struktur halamannya dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
A.    Halaman Luar (Jaba Pura)
B.     Halaman Tengah (Jaba Tengah)
C.     Halaman Dalam (Jeroan)
A.    Halaman Luar (Jaba Pura) ; terdapat bangunan seperti :
1.      Wantilan ; sebagai tempat rapat anggota krama, sebagai tempat mementaskan pertunjukan yang bersifat hiburan.
2.      Bale Penginapan (bale kemit) ; pos jaga bagi krama.
3.      Dua buah tugu Apit Lawang di depan candi kurung.

B.     Halaman tengah (Jaba Tengah) ; terdapat bangunan :
1.      Bale Patok di belakang candi kurung.
2.      Bale Gong, tempat menaruh gong yang ditabuhkan saat upacara.
3.      Umah Kulkul
4.      Jineng / Lumbung padi hasil laba pura
5.      Jineng / Lumbung padi
6.      Jineng / Lumbung padi
7.      Bale Agung Kembar
8.      Paruman, tempat para Dewa Parum (rapat), dan sebagai tempat melinggihkan Pretima – Pretima (simbul Dewa – Dewa) yang dipuja pada saat upacara oleh umatnya.
9.      Perantenan, tempat memasak alat – alat keperluan upacara.
10.  Bale Agung Dangin
11.  Panggungan
12.  Pelinggih Ratu Sakenan
13.  Bale Alit
14.  Pelinggih Ratu Sakenan
15.  Pelinggih Ratu Bale Agung
16.  Pelinggih Ratu Kaseh
17.  Pelinggih Ratu Kaseh
18.  Pelinggih Ratu Manik Toya
19.  Pelinggih Ratu Nyarikan (sebelah barat di depan candi bentar).

C.     Halaman Dalam (Jeroan)
1.      Bale Murda / Paselang
2.      Telaga Waja
3.      Bale Alit Ratu Puseh (Bhetara Puseh)
4.      Meru tumpang 3, Pelinggih Bhatara Puseh.
5.      Bale Alit Bhatara Gunung Agung
6.      Meru tumpang 5, Pelinggih Bhatara Gunung Agung
7.      Bangunan Dasar, tempat pemujaan Hyang Ibu Pertiwi.
8.      Padmasana tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tunggal.
9.      Meru tumpang 3, pelinggih Bhatara Gunung Lebah.
10.  Bale Alit Bhatara Gunung Lebah
11.  Manjangan Seluang, Pelinggih Bhatara Maspahit / Maskait
12.  Bale Alit Bhatara Maspahit
13.  Tapas sebagai tempat pemujaan Bhatara Wisnu
14.  Pelinggih Bhatara Sri
15.  Taksu Gumi
16.  Paruman
17.  Pelinggih Ratu Barong dan Rangda
18.  Bale Cengapit dan Titi Gonggang, sebagai pemedal (pintu) Bhatara Puseh.
19.  Pelinggih Dauh Margi sebagai tempat pemujaan Bhatara Maha Merta.
20.  Gedong pesimpenan Bhatara Maha Merta
21.  Bale kemit, tempat mekemit (berjaga – jaga)

c.       Upacara Puja Wali atau Piodalan
Sebagian besar Pura / Kahyangan yang ada di wilayah Desa Adat Sebatu upacarangya berlangsung berdasarkan “Wali”, sehingga di dalam pelaksanaan piodalannya ditentukan sesuai dengan urutan dari upacara pujawali masing – masing pura. Adakalanya dalam pelaksanaan upacaranya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan “Walin Carik”, bahkan upacara walin carik inilah yang dipakai dasar pedoman untuk melakukan upacara di beberapa pura.
Upacara besar di Pura Puseh dan Pura Desa / Bale Agung Desa Sebatu berlangsung 2 kali dalam setahun, yaitu sekitar Purnamaing sasih ke-6 dan sasih ke-7 disebut Pujawali Ratu Puseh atau Desa sedangkan pada sekitar Purnamaning sasih ke-8 atau ke-9 dilangsungkan upacara yang disebut “Meluwaran”.
Pada Upacara Pujawali Pura Puseh atau Pura Desa ini, pelaksanaannya berlangsung bergiliran tiap tahun, yakni sekali di langsungkan di Jeroan dan sekali di Jaba Tengah. Demikian juga dalam hal upakaranya sekali “Sabha Lablab” (segala aturan yang dibuat tanpa menggunakan minyak goreng), dan selanjutnya “Sabha Goreng” (bahan aturan / sesajen mempergunakan minyak)
Selanjutnya dalam upacara yang kedua atau yang disebut “Meluwaran” hanya dilakukan pada halaman Jeroan. Upacara ini merupakanpertemuan Bhatara – Bhatari dari seluruh Pura di Desa Adat Sebatu dan Bhatara Jati (Pura Jati di Banjar Jati) untuk dipuja bersama – sama oleh umatnya di Pura Puseh Desa Sebatu.
Selain dari upacara – upacara tersebut masih banyak lagi upacara yang berlangsung di Pura ini terutama yang berkaitan erat dengan “Walin Carik” atau Pujawali Subak. Upacara Subak atau Upacara lain yang berkaitan dengan masalah sawah akan diterangkan pada uraian upacara di belakang.
Jalannya upacara pujawali dipimpin oleh Pemangku Pura dan dibantu oleh para Penyarikan dalam hal membagikan / memercikkan tirta kepada umat yang bersembahyang. Sebagaimana umumnya sebelum upacara persembahyangan dimulai, dipertunjukkan tarian pendet, baris tumbak, rejang dan sebagainya sebagai pelengkap upacara.

2.      Pura Dalem
Pura Dalem Sebatu terletak di bagian hilir Desa Adat Sebatu. Tempatnya adalah di tengah hutan di bagian barat wilayah Desa Adat. Denah pura ini sangat berbeda dengan denah – denah Pura yang lain, dimana halaman yang paling suci (jeroan) terletak pada bagian halaman (dataran tanah) paling rendah, demikian juga denahnya menghadap ke arah Utara. Di sebelah tenggara Pura Dalem terletak kuburan / setra Desa Adat / Banjar Sebatu dan di bagian hulu kuburan itu (bagian Utara Kuburan) terdapat Pura Merajapati.

a.      Sejarah Pura
Secara pasti sejarah pura ini sangat sulit diketahui, namun oleh karena Pura ini merupakan Kahyangan Tiga dan disamping itu, tersimpannya beberapa batu besar sebagai lambang memujaan (Pratima), maka sangat besar kemungkinan pendirian Pura Dalem disini mempunyai proses yang sama dengan sejarah Pura Puseh atau Pura Desa / Bale Agung Desa Adat Sebatu.

b.      Bangunan – Bangunan atau Pelinggih di Pura Dalem
Pura Dalem Desa Adat Sebatu denahnya dibagi atas 3 bagian yaitu : halaman luar (jaba pura), halaman tengah (jaba tengah) dan halaman dalam (jeroan).
A.    Halaman luar / Jaba Pura, terdapat sebuah bangunan pelinggih Ratu Penyarikan.
B.     Halaman Jaba Tengah terdapat 2 buah bangunan Bale Petemon di bagian barat halaman dan di bagian timur halaman pura.
C.     Pada halaman jeroan terdapat  bangunan :
1.      Pelinggih Bhatara Dalem
2.      Pelinggih Ratu Ngerurah.
3.      Bale Pingit sebagai tempat petirtan / pesucian Bhatara Dalem pada saat berlangsungnya upacara Pujawali.

c.       Upacara Pujawali.
Upacara Pujawali di Pura Dalem Sebatu hanya berlangsung satu hari saja dalam setahun, yaitu pada hari Tilem / Prawani Galang Tegeh sekitar sasih karo, jadi oleh karena dalam upacara Pujawali ini berurutan dengan upacara walin carik yang dipakai dasar pedoman, maka mungkin saja bisa bergeser sampai satu bulan (asasih).
Sesuai dengan namanya yaitu Pura Dalem Pingit, maka dalam pelaksanaan upacara pujawali terdapat syarat – syarat seperti :
1.      Upacara persembahyangan dipimpin oleh Pemangku Pura
2.      Selama Upacara tidak boleh mempergunakan tetabuhan, baik genta (bajra) yang biasanya dipakai oleh Pemangku. Maupun Gong yang biasanya ditabuhkan pada saat upacara berlangsung.
3.      Umat yang akan bersembahyang hanyalah yang sudah diupacarai “merebu” sejenis mewinten, ini terutama ditujukan kepada krama banjar / Desa, sedangkan bagi teruna – teruni sama seperti pada pura yang lain.
4.      Wanita hamil, anak – anak di bawah umur 2 ½ tahun atau 3 oton, tidak diperkenankan sembahyang / masuk Pura. Apalagi wanita yang sedang datang bulan.
5.      Umat yang bersembahyang tidak diperkenankan memakai hiasan yang terbuat dari emas dan perak, termasuk alat upacaranya seperti bokor dan sebagainya dilarang.
6.      Sesajen yang dipersembahkan (dihaturkan) tidak boleh mempergunakan bahan yang terbuat dari / berisi minyak goreng. Dalam hal ini sama dengan sesajen “Sabha Lablab” di Pura Puseh.
7.      Sesajen yang dibuat untuk aturan hanyalah dibuat oleh orang – orang (krama) yang sudah diupacarai :Perebuan
8.      Krama Banjar / Desa yang belum diupacarai “Perebuan” hanya bisa mengikuti pertemuan / rapat tahunan “Ngusabha Dalem” yang bertempat di Jaba Pura Dalem.

3.      Pura Gunung Kawi dan Pura Pemaksan Pasek Gelgel
Pura Gunung Kawi Sebatu terletak pada bagian selatan Wilayah Desa Adat Sebatu. Letak pura ini menjadi tapal batas antara Desa Adat Sebatu dengan Desa Adat Talepud (Pujung Kaja). Pada areal tanah ini terdapat 3 buah pura yaitu:
A.    Pura Gunung Kawi, letaknya di tengah – tengah dan paling besar, dan disungsung oleh Krama Desa Adat Sebatu.
B.     Pura Pemaksan Pasek Gelgel, letaknya pada bagian paling Timur, serta disungsung oleh Krama Pasek Gelgel yang ada di desa Adat Sebatu.
C.     Pura Beji (Petirtan) milik wilayah Desa Adat Talepud.
Pura ini menghadap ke arah Selatan ke arah jalan raya, dan dibelakang pura terdapat tebing yang ditumbuhi hutan. Disamping sebagai tempat suci, struktur pura ditata sedemikian rupa sehingga sangat serasi dengan letak permandian umum yang ada di luar pura (Jaba Pura) ini. Hal inilah yang merupakan daya tarik bagi umatnya untuk melakukan persembahyangan.
a.      Sejarah Pura
Sesungguhnya sangat sulit apabila kita membicarakan sejarah dan latar belakang berdirinya Pura Gunung Kawi, mengingat kurangnya sumber yang didapat.
Nama Gunung Kawi kemungkinan berasal dari kata Gunung + KawiGunung = tempat yang tinggi / bukit ataupun tebing dan Kawi yang mungkin dari kata kakawian yang berarti sesuatu dibuat oleh para Pengawi, dalam hal ini adalah dasar pemujaan / Pura. Jadi Gunung Kawi berarti tempat suci yang dibuat pada bukit atau tebing, mengenai sejarah pendiriannya belum dapat dipastikan hingga saat ini, akan tetapi apabila kita kaitkan dengan Pura Tirta Empul di Tampaksiring, kelihatannya ada banyak persamaan terutama dalam hal struktur denah pura. Sebagai contoh adanya persamaan dapat dilihar dari :
-          Taman suci yang dilengkapi dengan permandian umum bagi umatnya
-          Seperti halnya pada Pura Tirta Empul terdapat pemujaan kepada Bhatara Wisnu dalam bentuk pelinggih Tapasana, maka di Pura Gunung Kawi terdapat juga pemujaan kepada Bhatara Wisnu dalam bentuk Padmasana menghadap ke Selatan.
-          Dalam tradisi juga sama – sama mempunyai kaitan dengan ceritera Sang Mayadenawa.
Adanya beberapa persamaan dengan Pura Tirta Empul di Tampaksiring kemungkinan pula periode pendiriann tidak jauh berbeda dengan pendirian Tirta Empul.

b.      Bangunan – Bangunan di Pura Gunung Kawi dan Pura Pemaksan Pasek Gelgel
Pura Gunung Kawi halamannya dibagi atas 3 bagian yaitu :
A.    Halaman Luar (Jaba Pura) terdapat bangunan – bangunan seperti :
1.      Wantilan
2.      Perantenan
3.      Pelinggih sebagai tempat Ngaskara Kajang pada saat melangsungkan upacara Pitra Yadnya
4.      Permandian umum
5.      Petirtan, Pelinggih Bhatara Dewi Gangga.

B.     Halaman Jaba Tengah terdapat bangunan :
1.      Padmasana
2.      Umah Kulkul
3.      Bale Patok
4.      Bale Pingit
5.      Bale Agung
6.      Taman Suci, pelinggih Bhatara / Dewi Gangga.

C.     Halaman Jeroan :
1.      Paruman
2.      Asagan tempat sesajen
3.      Pengarip – arip
4.      Tapas asagan tempat sesajen
5.      Pengastulan dari karang keturunan I Jero Mangku Brata.
6.      Gedong Pelinggih Bhatara Gunung Kawi
7.      Pelinggih (Meru) Bhatara Gunung Agung
8.      Meru Pelinggih Bhatara Gunung Lebah
9.      Menjangan Seluang, Pelinggih Bhatara Maspahit
10.  Padmasana tempat pemujaan Bhatara Wisnu
11.  Pelinggih Pengastulan dari Karang keturunanI Bukti
12.  Pengastulan dari Karang keturunan I Liguh.

D.    Halaman Pura Pemaksan Pasek Gelgel
1.      Pale Patemon
2.      Bale Pawedan / Pemujaan
3.      Bale Paselang
4.      Bale Pingit Ratu Ngerurah
5.      Gedong Kawitan
6.      Pelinggih Manjangan Seluang / Ratu Maspahit
7.      Gedong pesimpenan
8.      Pelinggih Bhatara Gunung Agung
9.      Padmasana
10.  Pelinggih Bhatara Gunung Lebah
11.  Pelinggih Gunung Sari
12.  Gedong tarib
13.  Pengastawan Tirta
14.  Taksu
15.  Pengarip – arip
16.  Paruman
17.  Bale Pesucian.

c.       Upacara Piodalan di Pura Gunung Kawi dan Pura Pemaksan Pasek Gelgel
Upacara piodalan di Pura Gunung Kawi diselenggarakan sekali dalam satu tahun, yaitu pada tiap Purnamaning Sasih Kasa. Namun karena eratnya kaitan piodalan / wali antara Pura yang satu dengan pura yang lain di wilayah Desa Adat Sebatu, bahkan sudah terdaftar sesuai dengan urutannya masing – masing, maka penyelenggaraan piodalannya mungkin saja bisa bergeser, dimajukan atau diundur satu bulan agar sesuai dengan pelaksanaan pujawali / piodalan yang lain.
Pada saat berlangsungnya upacara piodalan, banyak umat Hindu dari lain Des yang datang bersembahyang di Pura Gunung Kawi. Pelaksanaan upacara dipimpin oleh pemangku dan sebagaimana biasanya sebelum persembahyangan dimulai, diadakan tari – tarian wali seperti Rejang, Pendet dan yang sejenisnya. Kemudian setelah upacara di Pura Gunung Kawi selesai dilanjutkan pada Pura Pemaksan Pasek Gelgel.

4.      Pura Jabakuta
Pura Jabakuta terletak di bagian Utara Desa, atau dibelakang Pura Puseh Desa Adat Sebatu. Denah Pura menghadap ke arah Barat sedangkan letak pelinggih – Pelinggih hanya pada halaman tersuci yaitu Jeroan. Luas Pura ini 2,08 are dan berada pada dataran yang agak tinggi sehingga untuk masuk ke dalam Pura, kita hendaknya menaiki beberapa buah anak tangga yang berada pada halaman Jaba Pura.
a.      Sejarah Pura
Sejarah dan latar belakang berdirinya Pura Jabakuta sampai saat sekarang belum dapat diketahui dengan pasti, oleh karena data / sumber – sumber tertulis tidak ada. Tetapi dari keterangan beberapa informan, diperoleh penjelasan bahwa nama Pura berasal dari kata : Jaba + Kuta. Jaba berarti luar dan Kuta berarti Kota / Desa. Jadi memberikan pengertian sebuah pemujaan yang berada di luar Desa yaitu sebagai benteng dari Pura / Kahyangan yang ada di Desa Adat Sebatu, sesuai dengan upacara piodalannya dimana berlangsung tiap “Tumpek Landep”. Sebagaimana kita ketahui hari Tumpek Landep adalah upacara untuk segala jenis barang yang terbuat dari besi, termasuk senjata, tombak, keris dan sebagainya.

b.      Struktur dan Bangunan – bangunan suci Pura Jabakuta
Denah Pura Jabakuta dibagi atas 3 bagian, yaitu Jaba Pura, Jaba Tengah dan Jeroan. Pelinggih atau bangunan suci hanya terdapat pada halaman Jeroan, diantaranya :
1.      Bangunan sebagai Piyasan
2.      Pelinggih / Pengastawan Bhatara Gunung Lebah
3.      Padmasana tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
4.      Pelinggih / Pengastawan Bhatara Gunung Agung.

c.       Upacara Piodalan
Seperti telah disinggung di atas, pelaksanaan upacara piodalan berlangsung tiap “Tumpek Landep” atau hari Saniscara Kajeng Kliwon wuku Landep. Jadi di dalam setahun terjadi 2 kali upacara.
Upacara besar dilaksanakan hanya sekali dalam setahun, sedangkan pada 6 bulan / Tumpek Landep berikutnya hanya menghaturkan “Prarahinan” (Upacara Kecil), demikian berlangsung seterusnya. Lamanya upacara piodalan baik upacara besar maupun upacara kecil hanyalah berlangsung dalam sehari saja.

5.      Pura Kusti dan Pura Merajapati
Pura Kusti terletak di sebelah Barat Pura Desa / Bale Agung Desa Adat Sebatu, atau disebelah timur Pura Dalem. Denah Pura menghadap ke Selatan dengan luas 4,18 are. Di sebelah selatan Pura ini terdapat Pura Merajapati dan di sebelah Selatan Pura Merajapati terletak Kuburan (Setra) Desa Adat Sebatu. Pura Merajapati denahnya menghadap ke Barat dengan luas halamannya 52 m2. sama seperti Pura Kusti, halamannya terdiri dari Jaba Pura dan Jeroan.
a.      Sejarah Pura Kusti
Mengetengahkan sejarah Pura Kusti juga amat sulit, tetapi berdasarkan beberapa keterangan dapat digambarkan bahwa nama Pura berasal dari Musti yang berarti bersemedi untuk mempersatukan kekuatan bathin. Jadi Pura Kusti berarti tempat suci untuk memuja kepada Ida Sang Hyang Widhi guna mendapatkan anugrah untuk kekuatan bathin. Pendirian Pura Kusti sudah ada sejak dahulu, tetapi baru selesai diperbaiki pada pertengahan tahun 1984.

b.      Bangunan – Bangunan di Pura Kusti dan Pura Mrajapati
Pada halaman Jeroan Pura Kusti terdapat 4 buah bangunan seperti :
1.      Bale Patemon
2.      Tugu sebagai pelinggih Ratu Penyarikan
3.      Padmasana menghadap ke Selatan sebagai pelinggih Bhatara Wisnu (Bhatara ulun Danu)
4.      Tugu sebagai pelinggih Ratu Ngerurah.
Pada Pura Merajapati hanya terdapat sebuah pelinggih dalam bentuk Padmasana menghadap ke Barat, sebagai pemujaan Hyang Brahma Geni.

c.       Upacara Piodalan
Mengenai upacara piodalan di Pura Kusti dan Pura Merajapati berlangsung pada hari yang sama dan berlangsung 2 kali di dalam setahun. Upacara piodalannya didasarkan atas wuku yaitu setiap hari Anggara kliwon wuku Prangbakat (Anggara Kasih Prangbakat). Sama halnya dengan upacara di Pura Jabakuta, jalannya upacara persembahyangan hanya berlangsung dalam satu hari saja, dan demikian juga pelaksanaannya sekali merupakan upacara besar dan berikutnya hanya menghaturkan “Prarahinan” / upacara kecil.

6.      Pura Panti Prajurit (Panti Kangin)
Pura Panti Prajurit (Panti Kangin) terletak di sebelah Timur Pura Puseh. Denah menghadap ke Barat dan halaman terdiri dari : halaman Luar / Jaba Pura dan Jeroan.
Mengenai sejarah pendiriannya sampai saat sekarang belum juga dapat dipastikan, namun dari karakteristiknya dimana Pura ini disebut Pura Panti, maka jelas para pendukungnya / penyungsungnya adalah orang – orang yang mempunyai hubungan darah yang sama (geneologis). Sesungguhnya demikian, warga pendukungnya belum pula dapat dipastikan, apakah dari warga Pulasari, warga Pasek Haan ataupun warga yang lain, karena sumber tertulisnya tidak ada. Yang jelas pada saat sekarang Pura Panti Prajurit / Panti Kangin ini dipuja oleh semua golongan yang ada di Wilayah Desa Atat Sebatu, bahkan orang dari luar Desa Sebatupun banyak yang bersembahyang tatkala berlangsung upacara pujawali. Kalau ditinjau dari kepercayaan masyarakat Desa Adat Sebatu, Pura Panti Prajurit, Pura Panti Kauh, Pura Panti Alit adalah dipuja sebagai “Pengabih” Bhatara Puseh dan Bhatara Desa. Hal ini memang dapat diterima karena letak Pura Puseh atau Pura Desa di tengah – tengah sebagai Pura Induk dan Pura Panti disekelilingnya sebagai Pura Pura Pendamping (dalam istilah Candi di Jawa dikenal dengan “Candi Perwara” yang mengelilingi candi induk). Sebagai perbandingan dari konsepsi ini dapat dilihat pada Pura di Besakih dimana Pura Penataran Agung sebagai Pura Induk dan dikelilingi oleh Pura yang lainnya.
a.      Upacara Pujawali
Upacara Pujawali di Pura Panti Prajurit berlangsung tiap tahun sekali, yaitu mengikuti upacara di Pura Puseh / Pura Desa. Jadi pelaksanaannya berlangsung setelah upacara di Pura Puseh / Pura Desa selesai dilanjutkan pada Pura Panti Prajurit.

b.      Bangunan / Pelinggih – Pelinggih di Pura Panti Prajurit.
Pada halaman luar / Jaba Pura terdapat bangunan :
-          Umah Kulkul
Sedangkan pada halaman eroan terdapat :
1.      Bale Petamon
2.      Bale Gong
3.      Perantenan
4.      Bale Agung
5.      Paruman
6.      Bale Paselang
7.      Pelingih Ratu Penyarikan
8.      Pelinggih Ratu Maspahit
9.      Pelinggih Undakan Pangrus
10.  Taksu Nganten
11.  Taksu Pedarman
12.  Gedong Pulasari
13.  Pelinggih Bhatara Gunung Lebah
14.  Bale Alit
15.  Pelinggih Bhatara Sri Rambut Sedana
16.  Piyasan Pulasari
17.  Tepasana
18.  Padmasana
19.  Pelinggih Bhatara Gunung Agung
20.  Pelinggih Ratu Gede Prajurit
21.  Gedong Sari
22.  Bale Alit
23.  Pelinggih Ratu Kepasekan
24.  Pelinggih Puseh Haan.

7.      Pura Panti Kauh
Pura Panti berada di sebalah Barat Pura Puseh, atau Pura Desa / Bale Agung Desa Sebatu. Pura ini denahnya menghadap ke Selatan dan hanya terdiri dari dua halaman, yaitu Jaba Pura dan jeroan.
Mengenai sejarahnya juga belum diketahui, namus seperti halnya Pura Panti Prajurit, di Pura Panti Kauh juga dipuja Pengabih Bhatara Puseh atau Bhatara Desa.

a.      Bangunan – Bangunan Suci di Pura Panti Kauh :
1.      Tugu Apit Lawang, bangunan dua buah yang berada di depan candi bentar.
2.      Bale Patok
3.      Bale Paebatan
4.      Bale Penyucian
5.      Bale Agung
6.      Pengastawa Ratu Pingit
7.      Paruman
8.      Pelinggih Ratu Penyarikan
9.      Pelinggih Pemujaan Kepada Bhatara Gana
10.  Taksu Padmasana
11.  Pengastawan / Pemujaan ke Gunung Panerajon
12.  Pengastawan / Pemujaan ke Gunung Kunyit
13.  Pemujaan Bhatara Maspahit
14.  Pemujaan / Pelinggih Bhatara Gunung Lebah
15.  Padmasana / Pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Luhuring Akasa)
16.  Pengastawan / Pemujaan Bhatara Gunung Agung
17.  Gedong Pesimpenan
18.  Pelinggih Pengastawan ke Gunung Lempuyang
19.  Bale Alit Pesamuan
20.  Bale Alit Pesamuan
21.  Pengastawan / Pemujaan Ratu Perean
22.  Pengastawan / Pemujaan ke Gunung Andakasa
23.  Bale Paselang

b.      Upacara Pujawali
Seperti telah dijelaskan di atas, Upacara Pujawali di Pura Panti Kauh berlangsung sekali dalam setahun. Pelaksanaan upacara dilaksanakan setelah upacara di Pura Puseh atau Pura Desa selesai. Jadi bersamaan dengan di Pura Panti Prajurit.

8.      Pura Panti Alit
Pura Pandi Alit berada di sebelah Tenggara Pura Puseh / Pura Desa atau tepat di depan Balai Wantilan Desa Adat Sebatu. Denah pura menghadap ke Barat dan pelinggih – pelinggihnya berjejer di bagian Utara dan Timur halaman Jeroan. Sebagai batas kesucian halaman Jeroan dibuat tembok yang mengelilingi Pura ini.
Mengenai sejarah dan latar belakang pendiriannya belum juga dapat diketahui.
a.      Bangunan – Bangunan di Pura Panti Alit
1.      Pada halaman Jaba Pura yaitu du depan candi bentar terdapat dua buah tugu Apit Lawang. Sedangkan pada halaman seroan terdapat :
2.      Bale Petamon
3.      Bale Pingit
4.      Paruman
5.      Bale Alit
6.      Gedong Taksu
7.      Pelinggih Bhatara Maspahit (Manjangan Seluang)
8.      Meru Pelinggih Bhatara Panti Alit
9.      Pelinggih Bhatara gunung Lebah
10.  Padmasana
11.  Pelinggih Pesimpangan Bhatara Gunung Agung
12.  Meru Pesimpenan
13.  Gedong Dalem
14.  Pelinggih Ratu Ngerurah.

b.      Upacara
Upacara Pujawali di Pura Panti Alit dilangsungkan setahun sekali, yaitu setelah upacara di Panti Prajurit dan Panti Kauh selesai maka barulah berlanjut di Pura ini.

9.      Pura Melanting
Pura melanting Desa Adat Sebatu / Banjar Sebatu terletak di sebelah Selatan Balai Banjar. Pura ini menghadap ke Barat dan halaman yang suci Jeroan dibatasi oleh tembok penyengker.
Mengenai bangunan / pelinggih di Pura Melanting hanya terdapat sebuah Padmasana sebagai pemujaan kepada Bhatara Rambut Sedana. Sebagaiman umumnya di Bali Pura Melanting adalah dipuja oleh kaum pedagang, tetapi oleh karena kaum pedagang sudah termasuk Krama Banjae, maka Pura Melanting di Desa Adat Sebatu sepenuhnya disungsung oleh Krama Banjar.
Upacara piodalannya didasarkan perhitungan wuku, jadi di dalam setahun melangsungkan 2 kali upacara piodalan yaitu setiap “Buda Wage Klawu”. Persembahyangan haya berlangsung selama sehari, demikian pula pelaksanaan upacara dilakukan bergilir sekali upacara besar dan sekali upacara kecil.

10.  Pura Ulun Carik
Di wilayah Desa Adat Sebatu terdapat 2 Pura Ulun Carik yang diamong oleh Krama Subak Sebatu. Pura Ulun Carik tersebut masing – masing terletak di persawahan bagian Utara Desa dan di persawahan bagian Selatan Desa.
Upacara yang dilakukan di pura ini dalam setahun sebanyak dua kali, yaitu upacara “Pemalik Sumpah” yang dilakukan apabila padi (padi masa) yang ditanam di sawah telah mencapai umur 45 hari, dan upacara Medugul dilaksanakan pada hari Purnama atau Prawani Kajeng setelah upacara Pemalik Sumpah. Jadi karena merupakan rentetan upacara yang satu dengan yang lainnya harus berjalan dalam setahun, maka sangat sulit untuk mengetengahkan harinya yang pasti sebagai patokan berlangnya upacara.
Bangunan – bangunan yang terdapat di Pura Ulun Carik Desa Adat Sebatu: Pada Pura Ulun Carik Kaja dan Pura Ulun Carik Kelod terdapat bangunan yang sama seperti :
1.      Bale timbang
2.      Bale Dugul sebagai pelinggih Bhatara Ulun Carik
3.      Padmasana

11.  Pura Taulan
Pura taulan merupakan tempat suci yang didukung oleh sekelompok warga (Krama) atas dasar memiliki tanah sawah / tegalan di daerah Bilukan Sebatu. Hal ini sesuai dengan lokasi Pura Taulan yang berada di Ujung Barat Laut Wilayah Desa Adat Sebatu. Pura ini menghadap ke arah Selatan dan berada di sebelah Barat jalan raya jurusan Pujung dan Jasan.
Sejarah Pura ini sampai saat sekarang belum jelas dapat diketahui, Cuma ada yang menyebutkan nama lain Pura ini yaitu Pura Bintang.
Upacara yang dilakukan di pura ini berdasarkan atas perhitungan wuku, jadi dalam setahun melaksanakan 2 kali upacara piodalan atau tiap – tiap 210 hari sekali, upacara Piodalan jatuh pada tiap Buda Umanis wuku Julungwangi.
Bangunan – bangunan / pelinggih di Pura Taulan :
1.      Pelingih Ratu Penyarikan
2.      Padmasana
3.      Pelinggih / Pesimpangan Bhatara Gunung Lebah
4.      Pelinggih / Pengastawan ke Surya
5.      Pelinggih / Pesimpangan Gunung Agung (Bhatara Gunung Agung
6.      Paruman Alit
7.      Bale Agung Dangin
8.      Bale Agung Dauh

12.  Pura Keluarga
a.       Pura Pemaksan Pasek Gelgel (keterangan di depan)
b.      Pura Pemaksan Pulasari

13.  Pura / Tempat – tempat suci lainnya
1.      Pura / Pesiraman Kembang Jenar
Sesuai dengan namanya yaitu Pesiraman, maka di tempat ini adalah tempat pemujaan Bhatara – Bhatari yang ada di seluruh wilayah Desa Adat Sebatu, termasuk Bhatara di Pura Jati Banjar Jati untuk dipuja bersama – sama pada saat diadakan upacara “Pesucian” di pura ini. Pura / Pesiraman ini terletak di Sungai Wos sebelah Barat Desa Adat Sebatu.

2.      Pesiraman Panti Prajurit
Tempat ini sebagai “Pesucian” Bhatara Panti Prajurit pada waktu upacara berlangsung di Pura Panti Prajurit.

3.      Pesiraman Panti Kauh
Sama halnya seperti Pura Panti Prajurit, yaitu sebagai tempat “Pesucian” Bhatara Panti Kauh pada saat upacara berlangsung.

4.      Pura Penyawangan Pulasari
Pura ini baru didirikan oleh warga Pulasari yang ada di wilayah Desa Adat Sebatu. Sebagai penyawangan ke Pura Pulasari.

14.  Sanggah / Pemerajan
Sanggah / Pemerajan merupakan tempat suci keluarga yang berada pada tiap – tiap Karang Perumahan. Adanya Sanggah / Pemrajan sebagai tempat pemujaan bagi setiap karang atau keluarga membuktikan desa tersebut masih kuat pada adat – istiadatnya. Di samping itu adanya Sanggah adalah mewujudkan dimana konsep Tri Mandala dalam pekarangan masih tetap diterapkan secara utuh. Dalam hal ini Tri Mandala meliputi :
a.       Utama Mandala, yaitu bagian hulu dari karang atau tempat perumahan merupakan bagian karang yang dipandang paling suci sebagai tempat Saggah / Pemerajan.
b.      Madia Mandala bagian tengah karang yang merupakan tempat mendirikan rumah – rumah sebagai tempat tinggal.
c.       Nista Mandala, yaitu bagian karang yang dipandang sebagai lebuh atau teba.
Berpedoman dari konsepsi itu, maka tiap karang di Desa Adat Sebatu dijumpai bagian karang yang disebut Sanggah / Pemerajan sebagai tempat suci dari bentuk yang paling sederhana sampai lebih lengkap (memiliki Pelinggih – Pelinggih tambahan).
1.      Kemulan
Bangunan / Pelinggih ini terdiri dari tiga ruangan (Rong Tiga) dan biasanya menghadap ke Barat. Kemulan berasal dari kata “Mula” yang berarti asal, jadi pada kemulan dipuja para roh leluhur yang telah disucikan yang dianggap telah bersatu dengan Tuhan, atau Ida Sang Hyang Guru (Bhatara Guru).
Sebagai contoh bahwa di Kemulan dipuja roh leluhur yang telah suci, dapat kita lihat pada saat upacara Pitra Yadnya selesai dimana “Puspa” yang dilambangkan sebagai roh orang yang meninggal setelah dibakar dan disucikan melalui proses upacara lalu dimasukkan ke dalam “Nyuh Gading” untuk selanjutnya ditanam di dekat Sanggah Kemulan.
Kemudian apabila kita perinci tiap – tiap rong maka di Kemulan dipuja sebagai :
-          Rong yang paling selatan sebagai pelingih Ida Sang Hyang Wisnu.
-          Rong yang di tengah – tengah merupaka pelinggih Ida Sang Hyang Iswara / Çiwa Mahaguru atau Bhatara Guru.
-          Rong yang paling Utara merupakan pelinggih Ida Sang Hyang Brahma.


2.      Pelingih Taksu
Yaitu pelinggih yang letaknya pada deretan paling Barat di bagian Utara halaman menghadap ke Selatan, sebagai pelinggih Ida Sang Hyang Indra.

3.      Sedahan / Ngerurah
Pelinggih ini letaknya di bagian Selatan halaman menghadap ke Barat dan biasanya seperti Gedong yang seluruhnya terbuat dari batu padas.

Selain dari bangunan – bangunan pokok di atas banyak pula dilengkapi dengan bangunan / pelinggih seperti :
1.      Limas Catu, yaitu pelinggih yang memakai bentuk atap dililitkan ke atas (Meperucut), merupakan pelinggih atau pesimpangan Ida Bhatara Gunung Agung.
2.      Limas Sari, yaitu pelinggih di mana atapnya ditutupi dengan “Pane” sebagai penyawangan Ida Bhatara Gunung Lebah / Ulun Danu.
3.      Gedong Sari, sebagai pelinggih Ida Bhatari Sri Sedana. Pada bangunan ini biasanya disimpan “Pratima – pratima”.
4.      Manjangan Seluang, yaitu pelinggih yang ditandai dengan patung kepala manjangan merupakan pelinggih Ratu Maspahit.
Sedangkan pada Sanggah – sanggah / Pemrajan yang lebih besar terdapat beberapa pelinggih lagi sesuai dengan golongan keluarga itu masing – masing. Mengenai keadaan Sanggah / Pemerajan tergantung dari pengamongnya baik menyangkut pemeliharaan maupun perawatannya. Demikian pula dalam pelaksanaan upacara piodalannya.

15.  Sekilas Tentang Pujawali yang berlangsung di Desa Adat Sebatu
Walaupun telah kami singgung upacara – upacara dimasing – masing pura di atas, namun perlu kiranya kami ketengahkan sekali lagi sesuai dengan urutan upacara – upacara yang berlangsung sepanjang tahun di Desa Adat Sebatu.
Upacara di masing – masing pura di Desa Adat Sebatu dibagi dua yaitu : Pura yang melaksanakan upacara piodalan berpedoman pada waktu diantaranya :
1.      Pura Jabakuta
2.      Pura Kusti
3.      Pura Merajapati
4.      Pura Melanting
5.      Pura Taulan
Selebihnya mengikuti patokan (pedoman) wali – wali yang berkaitan dengan upacara padi (walin carik)
Adapun upacara – upacara yang berlangsung di Desa Adat Sebatu sepanjang tahun adalah sebagai berikut :
1.      Upacara Memungkah
Upacara ini dilakukan pada masing – masing sawah dari kerama subak dengan disertai percikan air suci (Tirta) dari Pura Batur (Ulun Danu)
2.      Setelah Upacara Memungkah Selesai, maka menunggu hari Kajeng Umanis dilakukan Upacara menanam bibit padi (padi masa0 yang ditandai dengan penanaman pertama pada sawah laba Desa, yang kemudian diikuti pada sawah masing – masing kerama. Pada hari Kajeng Umanis berikutnya diadakan upacara “Mubuhang bulih”, menghaturkan sesajen berupa bubuh kepada Bhatari Sri, untuk memohon agar bibit yang ditanam bisa tumbuh dengan subur. Hal ini dilaksanakan 3 kali berturut – turut sampai padi tersebut bisa ditanam.
3.      Apabila bibit padi telah berumur sekurang – kurangnya 15 hari “Megembol bok jaran” (maksudnya bibit tersebut daunnya sudah seperti rambut kuda) dan menantikan hari Purnama, maka dilangsungkan Upacara besar di Pura Puseh atau Pura Desa / Bale Agung, yang berlanjut pada Pura Panti Prajurit, Panti Kauh dan pada Panti Alit.
4.      Setelah upacara di Pura Puseh / Pura Desa dilanjutkan dengan Upacara Menanam padi. Dalam upacara ini dibuat sesajen yang disertai dengan menancapkan “Sanggah Pemulan” semacam altar dari bambu yang ditancapkan pada bagian sawah paling hulu yaitu di dekat sumber masukknya air ke sawah.
5.      Kemudian apabila padi yang ditanam sekurang – kurangnya mencapai umur 45 hari, dilakukan upacara “Pemalik Sumpah” di Pura Ulun Carik Kaja dan Pura Ulun Carik Kelod.
6.      Menunggu 3 hari berikutnya yaitu pada hari Kajeng dilakukan upacara “Mider Kancuh” dan “Majang Colong” yang bertempat di Pura Desa. Tujuan dari upacara ini adalah memohon keselamatan agar padi yang ditanam di sawah dapat tumbuh dengan subur.
7.      Hari Kajeng berikutnya (3 hari setelah upacara mider kancuh) diadakan upacara / Pujawali “Mamelang atauNuwuh”, bertempat di Pura Desa (Jaba Tengah).
8.      Mulai dari upacara Nuwuh menanti hari Purnama / Prawani yang bertepatan dengan hari Kajeng diadakan Pujawali “Nyungsung”. Pelaksanaan upacara dilaksanakan di Pura desa.
9.      Menantikan hari Tilem / Perwani yang bersamaan dengan hari Kajeng dilakukan upacara “Ngongkong”. Dalam upacara ini oleh krama subak dibuat sesajen yang dilengkapi dengan kulit anjing (kuluk belang bungkem) dipakai layang – layang, serta pelaksanaannya dilakukan pada perempatan sawah, tepi sawah Desa dan pada tempatlain yang dianggap rawan hama. Tujuan upacara ini adalah untuk mengusir segala jenis hama seperti tikus, walang sangit, wereng dan sebagainya.
10.  Menantikan hari Purnama / Prawani yang bersamaan dengan hari Kajeng dilakukan upacara “Madugul” bertempat di Pura Ulun Carik Kaja dan Pura Ulun Carik Kelod.
11.  Menantikan hari Purnama / Perwani berikutnya dilakukan upacara “Meluaran”. Pada upacara ini semua Bhatara – Bhatari di seluruh Pura yang ada di wilayah Desa Adat Sebatu sampai pada Pura Jati, Banjar Jati disucikan pada Pesiraman Kembang Jenar dekan Sungai Wos dan selanjutnya bersama – sama dipuja di Pura Sang Hyang Klakah Talepud, dan barulah setelah itu dipuja di Pura Puseh Sebatu.
12.  Setelah upacara maluaran dan menantikan hari Kajeng Umanis diadakan upacara “Mebiyukukung” pada masing – masing sawah. Pada hari yang sama diadakan upacara Pujawali :Ningkag Tipat Dampulan”, membelah ketupat dampulan yang dilakukan di Bale Agung Kembar. Dalam upacara inisetiap Krama Subak menghaturkan sebuah ketupat yang besar yang kemudian dibelah disaksikan bersama – sama di Balai agung oleh pemangku dan prajuru semua. Apabila di dalam ketupatnya ditemukan kotoran seperti pasir, rambut dan yang lainnya, maka Krama Subak tersebut dikenakan denda sesuai dengan awig – awig yang telah ditetapkan. Tujuan utama dari upacara ini adalah menunjukkan kesucian dan keikhlasan dalam mempersembahkan sesajen kepada Sang Hyang Widhi.
13.  Setelah upacara Ningkag tipat Dampulan, dan menantikan hari Pasah Kliwon berikutnya, dilakukan Pujawali “Ngentegan Ida Bhatara Sri” di Sawah.
14.  Kemudian menantikan hari Kajeng diadakan Pujawali / Upacara “Nyaetin” sebelum padi bisa dipanen.
15.  Menantikan hari purnama berikutnya, dilaksanakan Upacara Piodalan di Pura Gunung Kawi dan diteruskan di Pura Pemaksan Pasek Gelgel.
16.  Dihitung 45 hari setelah upacara Nyaetin, yaitu mencari hari Kajeng yang bertepan dengan “Pangelong apisan sampai pengelong ping tiga”dilakukan Pujawali “Ngekes Brata” atau disebut :Ngadegan walin Ida Bhatara”. Lamanya upacara ini berlangsung sampai 12 hari dan selama berlangsungnya Pujawali Ngekes Brata, seluruh umat dilarang melakukan hal – hal sebagai berikut :
a.       Dilarang pergi untuk menginap di luar Desa
b.      Menerima tamu untuk menginap juga dilarang
c.       Mengeluarkan segala yang masih berjiwa (hewan) ke luar Desa, juga tidak diberikan.
d.      Menanam tanam – tanaman tidak pula diijinkan
e.       Melakukan upacara – upacara lain kecuali yang berkaitan dengan upacara ini juga dilarang, seperti upacara manusa yadnya dan yang lainnya.
Selama berlangsungnya upacara Ngekeb Brata ini, dilakukan upacara – upacara yang merupakan kaitannya seperti :
1)      Me Sangiang – sangiangan, upacara ini dilakukan pada hari Kajeng 3 hari setelah mulainya Ngekes Brata dan diadakan di Jaba Tengah / Pura Desa.
2)      Hari Kajeng 3 hari berikutnya diadakan Pujawali “Nyaciin” atau ngaturan sarintahun. Sesajen yang dibuat berupa “tegen – tegenan” sebagai lambang semua dari hasil bumi. Upacaranya berlangsung di Pura Puseh dan Pura Desa.
3)      Menyusul 3 hari berikutnya dilakukan upacara “Metabuh Gentuh” atau upacara pecaruan dan pada malam harinya diteruskan dengan upacara membakar “medi – median” yang terbuat dari daun war – awar yang dicat bentuk palang dari kapur dicampur kunyir. Pada saat ini juga disertai membunyikan bunyi – bunyian kulkul dengan maksud untuk mengusir butakala.
4)      Keesokan harinya mulai dari jam 2 malam, Krama Desa bekerja di Pura Dalem membuat persiapan upacara. Barang siapa dari salah seorang Krama Desa yang terlambat datang bekerja, maka yang bersangkutan wajib dikenakan hukuman yaitu dengan membuat “talenan” (alas dari kayu yang dipakai pada saat menyembelih daging) di atas pohon dengan bahannya juga diambil dari pohon itu. Kemudian pada pagi harinya hingga tengah hari diadakan upacara “Penyepian atau sipeng”.
5)      Keesokan harinya yaitu pada hari Tilem / Prawani Galang Tegeh, dilangsungkan “Pujawali Ngusaba Dalem” di Pura Dalem Pingit.
6)      Sehari setelah Pujawali Ngusaba Dalem diadakan “Tabuh Rah” tiga seet sebagai penutup wali / Ngekes Brata dan diadakan di Jaba Tengah (Pura Desa) dan “Be Cundangnya” atau ayam yang kalah dipakai sesajen sebagai daging “nasi pelupuhan” dan dihaturkan pada Bale Agung Dangin Pura Desa.
17.  Kira – kira 2 bulan berikutnya dinantikan hari Purnama dilakukan Pujawali di Pura Ratu Manik Toya, yang letaknya di Jaba Tengah Pura Desa, tetapi upacaranya terutama tertuju pada Bhatara – Bhatari pelinggih kelompok Pura Subak. Demikian pula pelaksanaan upacaranya sepenuhnya ditunjang oleh 300 Krama Subak atau 13 Pekaseh, termasuk Subak – Subak di luar Sebatu.
Demikian berlangsung secara bergilir sepanjang tahun.
Kemudian di luar upacara yang berjalan secara rutin di atas ada juga upacara – upacara lain seperti Upacara “PecaruanManca Sanak” yang penyelenggaraannya berlangsung tiap 5 tahun atau sekurang – kurangnya 7 tahun sekali.

16.  Pemeliharaan Tempat – Tempat suci Buana / Perlengkapannya
Semakin banyak Kahyangan yang dimiliki di Wilayah Desa Atat maka semakin banyak pula duperlukan tugas untuk memelihara dan merawatnya. Hal semacam ini sudah wajar bagi setiap penyungsungnya.
Desa Adat Sebatu dalam menjaga kebersihan dan perawatan di masing – masing Kahyangan telah dibagi sesuai dengan keadaan pura itu.
a.       Pemeliharaan bangunan bagi Kahyangan /desa terutama dalam menjaga kebersihannya telah diatur dan dibagi sesuai dengan banyknya Krama Desa dan banyaknya Kahyangan. Pekerjaan rutin untuk kebersihan Pura dilakukan setiap Kajeng Kliwon. Demikian pula pada Pura yang lain cara kerjanya sama seperti Krama Desa, tetapi pura yang agak kecil ditugaskan beberapa Krama untuk menjaga kebersihannya dengan memberi “Luputan” atau imbalan sesuatu yag ditentukan dalam musyawarah Krama pendukungnya. Sedangkan untuk perbaikan – perbaikan sepenuhnya ditanggung oleh semua Krama.
b.      Busana / Perlengkapan Pura
Untuk memelihara perlengkapan / busana Pura seperti ider – ider, umbul – umbul, pajeng, tombak dan yang lainnya untuk Kahyangan Desa sepenuhnya dibebankan pada Sekaha Deha Teruna. Sedangkan pada Pura Keluarga, Panti dan lain sebagainya pemeliharaanya dilakukan oleh Kramanya masing – masing sesuai dengan pengaturan tugas dari pengurus Pura yang telah disepakati sebelumnya.

No comments :

Post a Comment